Jumat, 11 Oktober 2013

pengertian dan macam-macam puasa

 Pengertian dan Macam-macam Puasa

Mirwoni Paidil 

Pondok Pesantren Ar-Rahmah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
A. Pengertian Puasa

Menurut bahasa; Puasa artinya menahan diri dari segala sesuatu.
Menurut istilah; Puasa artinya menahan diri dari makan dan minum dan dari segala perbuatan yang boleh membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari.
B. Macam-macam Puasa
1. Puasa yang hukumnya Wajib
  • puasa di Bulan Ramadhan,
  • puasa kafarat, dan
  • puasa nazar
2. Puasa yang hukumnya Sunah
  • puasa 6 hari di bulan Syawal,
  • puasa Arafah
  • puasa Senin-Kamis
  • puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak)
  • puasa Asyura (pada bulan muharam)
  • puasa selama tiga hari dalam setiap bulan Hijriyah, yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15
  • puasa di bualn Sya’ban
3. Puasa yang hukumnya Makruh
  • puasa yang dilakukan pada hari Jumat, kecuali telah berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya,
  • Puasa wisaal, yaitu puasa yang dilakukan secara bersambung tanpa makan dan minum pada malam harinya,
  • puasa dahri, yaitu puasa yang dilakukan terus-menerus.
4. Puasa yang hukumnya Haram
  • puasa pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha),
  • puasa pada hari tasyrik (tanggal 11-12-13 Dzulhijah),
  • puasa yang dilakukan dalam keadaan haid atau nifas,
  • puasa yang dilakukan oleh seseorang yang takut akan terjadi mudarat bagi dirinya apabila ia berpuasa.

Makna Idul Adha by: Pondok Pesantren Ar-Rahmah

Memahami Makna Idul Adha Cetak E-mail
Ditulis oleh Mirwoni Paidil Pondok Pesantren Ar-Rahmah*    
Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.
Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.
Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.
Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )   
 Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?.
Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga  hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri— justru mencelakakan  dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka  bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.
Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.  Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)
Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.
Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.
Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya !

teks MC (Master of Ceremony) English Language


 OSAR (Organisasi Santri Ar-Rahmah)

Dokumen kegiatan extrakulikuler dalam latihan pidato

Teks MC (Master of Ceremony) Bahasa Inggris

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الحمد لله ربّ العالمين وبه نستعين وعلى أمور الدنيا والدين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى اله وصحبه أجمعين أما بعد
Teks MC - GEC KHAS Kempek
Honorable teacher and all of my beloved audiences…
First of all, let’s thank to Allah SWT, who has given us his mercies and blessings so we can attend this program without any problem.
Secondly may sholawat and salam always be presented to our prophet Muhammad SAW, who has guided us from the darkness to the lightness from the bad character to the good one as we hold today. We are standing here as chair woman, we want to read our program in this night.
1. Opening
2. Reciting Holy Qur’an
3. English Speech Presentation
4. English Story Telling
5. Summary
6. Announcement from the Advisor
7. Praying
8. Closing
9. Announcement
Well, happy audience…..
The first agenda is opening. Let’s open our agenda in this night by reading al-fatihah together.
The second agenda is reciting of holy Qur’an, which will be recited by our beloved sister Eka Munawwaroh and the translator Siti Zubaedah. Please come forward. Thank for them.
The next agenda is English Speech Presentation
The first speaker will be delivered by our beloved sister Hikmatul Fithiyah. The time is yours.
The second speaker will be delivered by our beloved sister Indana Zulfa. The time is yours.
The next agenda is English Story Telling
The first performance will be delivered by our beloved sister Livi Ika F. Sari. The time is yours.
The second performancewill be delivered by our beloved sister Endang WS. The time is yours.
The next agenda is Summary
The first summary will be delivered by our beloved sister Maulida. The time is yours.
The second summary will be delivered by our beloved sister Izky Hanifah. The time is yours.
The next agenda is Announcement from the Advisor
To our honorable teacher H. Ahmad Zaeni Dahlan, Lc. M. Phil. The time is yours.
The next agenda is Praying
To our beloved sister Leli Nur Laela. The time is yours.
The next agenda is closing.
Let’s close our agenda in this night by reading hamdallah together.
The last agenda is Announcement from Language Improvement Section.
To our beloved sister Ade Nur Adliyah. The time is yours.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
About these ads

Rabu, 09 Oktober 2013

Dalil, Syarat-syarat dan pengertian tayamum

Dalil, syarat-syarat dan pengertian tayammum 

Created by: Mirwoni Paidil

Graduated : STAIN Curup

Madrasah Ibtidaiyah 

PONDOK PESANTREN AR-RAHMAH

Jl. Pramuka Air Meles Atas Kec Selupu Rejang

 

Kemudahan tayammum dalam Islam
Kita telah tahu bahwa wudhu’ adalah syarat bagi sahnya shalat, thawaf, menyentuh dan membawa mushhaf. Dan wudhu’ itu hanya bisa dilakukan dengan menggunakan air. Hanya saja, manusia kadang-kadang berhalangan untuk menggunakan air, baik karena air itu tidak ada, atau jauh tempatnya, atau karena suatu penyakit yang tidak memungkinkan menggunakannya. Oleh karena itu, dengan kemudahan dan keluwesannya, Islam mensyari’atkan tayammum dengan debu yang suci, sebagai ganti dari berwudhu’. Dengan demikian orang Islam tetap mrndapatkan keberkatan ibadah. 
ARTI TAYAMMUM 
Menurut bahasa, tayammum berarti: menuju. Orang mengatakan: “Tayammum Fulanan”, aku menuju kepada Fulan. Sedang menurut syara’, tayammum berarti menyampaikan debu nyang suci kepada wajah dan kedua tangan, disertai dengan niat dan cara tertentu. 
DALIL DISYARI’ATKANNYA TAYAMMUM ADALAH AL-KITAB DAN AS-SUNAH 
Dalam al-Kitab Allah Ta’ala berfirman: 
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (Q.S. al-Maidah: 6) 
Sedang dalam as-Sunnah Nabi SAW bersabda: وَجُعِلَتْلََنَااْلاَرْضُكُلُّهَامَسْجِدٌا٬ وَجُعِلَتْتُرْبَتُهَالَنَاطُهُورًااِذَالَمْنَجِدِالْمَاءََ Dan bumi seluruhnya dijadikan masjid bagi kita, sedang tanahnya dijadikan bagi kita sebagai sesuatu untuk bersuci apabila kita tidak mendapatkan air. (H.R. Muslim: 522) 
1. Tidak ada air secara nyata (Hissiyan), umpamanya berada dalam perjalanan sedang air tidak didapatkan, atau karena tidak ada air secara syar’i, umpamanya air memang ada, tetapi diperlukan untuk minum. 
Allah Ta’ala berfirman:
 فَلَمْتَجِدُوْامَاءًفَتَيَمَّمُوْا 
...........Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah. Dan air yang diperlukan untuk minum dan lain sebagainya, sama hukumnya dengan tidak ada air sama sekali dalam kaitannya dengan thaharah. 
2. Jauhnya air. Jadi, kalau seseorang berada di suatu tempat dimana tidak terdapat air, sedang antara dia dengan air yang ada dipisahkan oleh jarak yang lebih dari setengah farsakh –yakni lebih dari 2,5 kilometer- maka bolehlah ia bertayammum, dan tidak wajib berusaha mendatangi air tersebut, karena akan mendatangkan kesulitan. 
3. Berhalangan menggunakan air, baik secara nyata (Hissiyan), umpamanya air itu ada didekatnya, tetapi di dekat air ada seorang musuh yang ditakuti; atau secara syar’i, umpamanya dengan menggunakan air dikhawatirkan akan timbul suatu penyakit, atau menambahnya semakin parah, atau akan lama tidak sembuh-sembuh. Dalam keadaan-keadaan seperti ini seseorang boleh bertayammum dan tidak wajib menggunakan air, berdasarkan sabda Nabi SAW mengenai orang yang terluka kepalanya kemudian mandi, lalu mati:
 اِنّمَاكَانََيَكْفِِيْْهِاَنْْيََتَيَمََّمََوَيَعْصِبَعَلََىجُرْحِهِخِِرْقَةً،ثُُُمَّّيَمْسَحَعَلَيْهَاوَيَََغْسِلَسَائِِرَجَسَدِهِ 
Sesungguhnya cukuplah bagian bertayammum, dengan membalut lukanya dengan secarik kain, kemudian mengusap kain itu dan membasuh bagian tubuh selebihnya. (Lihat: Dalil Disyari’atkannya mengusap pembalut luka). 
4. Udara yang sangat dingin sehingga orang takut menggunakan air, sedang ia tidak mampu menghangatkannya. Karena ‘Amr ibnul ‘Ash pernah tayammum dari janabat, sebab khawatir binasa akibat kedinginan, sedang Nabi SAW menyetujuinya. (Demikianlah diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban). Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, dia tetap harus mengqadha’ shalatnya apabila telah mendapatkan air dalam keadaan biasa. 
Syarat-syarat Tayammum
  1. Mengetahui masuknya waktu. 
  2. Mencari air sesudah masuknya waktu. 
  3. Ada tanah berdebu yang suci, yang tidak memuat pasir, tepung maupun kapur.
  4. Menghilangkan najis terlebih dahulu. 
  5. Berusaha mengetahui kiblat sebelum bertayammum.